Adalah kisah di balik pembukaan hutan Wonosari atas perintah Raden Tumenggung Prawirosetiko, Bupati Gunungkidul ke-2. Pada tanggal 26 dan 31 Maret 1831 Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Yogyakarta mengadakan kontrak kerja sama tentang pembagian wilayah administratif baru dalam Kasultanan disertai penetapan jabatan kepala wilayahnya. Saat itu Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi tiga kabupaten yaitu Bantulkarang untuk kawasan selatan, Denggung untuk kawasan utara dan Kalasan untuk kawasan timur. Gunungkidul di bawah administrasi kawasan timur yang berpusat di Kalasan. Menindaklanjuti pembagian wilayah baru Kasultanan Yogyakarta, secara resmi ditetapkan pembentukan Kabupaten Gunungkidul dengan Wonosari sebagai pusat pemerintahan.
Sultan Hamengku Buwono V di Yogyakarta kemudian mengangkat Raden Tumenggung Prawirosetiko sebagai Adipati Gunungkidul, menggantikan KRT Poncodirjo, sekaligus meminta untuk mengatur wilayah Gunungkidul, khususnya memindahkan kabupaten ke lokasi yang lebih dekat dengan Yogyakarta, tetapi juga dekat dengan semua kawula di Gunungkidul. Maka dipilihkan Alas Nongko Doyong yang daerahnya datar, sumber airnya banyak, tanahnya subur serta berada di lokasi yang strategis.
Untuk melaksanakan perintah tersebut, Raden Tumenggung Prawirosetiko mengundang seluruh panji, demang, rangga, ranupati sekadipaten untuk bermusyawarah. Salah satunya adalah Panji Harjodipuro yang berasal dari Semanu. Kemudian Raden Tumenggung Prawirosetiko memerintahkan kepada sang panji untuk mengerjakan tugas mulia tersebut bersama anak buah kepercayaannya seorang demang dari Piyaman bernama Ki Demang Wonopawiro yang muda, gagah, pemberani dan masih bujangan. Proses pembukaan hutan pun terlaksana dengan sukses dan segeralah dilakukan pembangunan pendapa, bangsal-bangsal dan bangunan-bangunan untuk para pangreh praja. Setelah selesai kemudian Kadipaten Gunungkidul pun pindah ke Alas Nongko Doyong yang kemudian diganti nama menjadi Wonosari oleh Raden Tumenggung Prawirosetiko.
Di balik pelaksanaan tugas tersebut, terjadi kisah cinta, heroisme dan mistik. Alkisah, Panji Hardjodipuro mempunyai seorang putri bernama Roro Sudarmi. Selaku pelaksana pemerintahan, Panji Harjodipuro memanggil Demang Wonopawiro di Piyaman menghadap. Demang Wonopawiro adalah seorang keturunan Majapahit yang sakti, patuh, dan bakti pada atasan. Harjodipuro menugaskan Demang Wonopawiro untuk menjadi pelaksana proyek membuka Alas Nongko Doyong.
Demang Wonopawiro melihat Roro Sudarmi dan jatuh hati.
Mbok Nitisari adalah seorang dukun, orang pintar, yang sakti. Demang Wonopawiro pulang ke Piyaman meminta pertimbangan Mbok Nitisari tentang tugas yang diperintahkan oleh Panji Harjodipuro untuk membuka Hutan Nongko Doyong yang terkenal gawat keliwat-liwat angker kepati-pati. Mbok Nitisari setuju dan bersedia membantu tugas berat itu. Mbok Nitisari memerintahkan Demang Wonopawiro untuk membuat sesaji. Demang Wonopawiro dan Mbok Nitisari pergi ke Alas Nongko Doyong yang terkenal jalma mara jalma mati, angker karena dikuasai Nyi Gadung Mlati, demit penguasa Alas Nongko Doyong. Mbok Nitisari meminta kepada Nyi Gadung Mlati agar Alas Nongko Doyong boleh dibuka. Nyai Gadung Mlati tidak mengijinkan. Terjadi pertempuran antara demit Nyi Gadung Mlati dan Mbok Nitisari. Nyi Gadung Mlati kalah. Nyi Gadung Mlati mengijinkan pembukaan hutan dengan syarat diberi sesajian tiap tahun dan Nyi Gadung Mlati dibiarkan hidup sebagai penjaga.
Pembukaan hutan dilakukan. Demang Wonopawiro mengerahkan rakyat Piyaman untuk membantu membuka hutan. Nyi Gadung Mlati membantu secara spiritual. Melihat keberhasilan Demang Wonopawiro ini, Ronggo Puspowilogo, seorang demang dari Seneng, daerah Siraman, menjadi iri karena dia berharap pada mulanya dialah yang diberi tugas oleh Panji Harjodipuro untuk membuka hutan. Ibu kota mulai dibangun. Pasar didirikan di daerah Seneng.
Is the story behind the clearing of the Wonosari forest on the orders of Raden Tumenggung Prawirosetiko, the 2nd Regent of Gunungkidul. On March 26 and 31, 1831 the Government of the Dutch East Indies and the Sultan of Yogyakarta entered into a cooperation contract on the division of new administrative territories in the Sultanate accompanied by the appointment of the position of head of the region. At that time the Yogyakarta Sultanate was divided into three districts namely Bantulkarang for the southern region, Denggung for the northern region and Kalasan for the eastern region. Gunungkidul under the administration of the eastern region, based in Kalasan. Following up on the division of the new Yogyakarta Sultanate, the Gunungkidul Regency was officially established with Wonosari as the center of government.
Sultan Hamengku Buwono V in Yogyakarta then appointed Raden Tumenggung Prawirosetiko as Duke of Gunungkidul, replacing KRT Poncodirjo, as well as asking to regulate the Gunungkidul region, specifically moving the district to a location closer to Yogyakarta, but also close to all subjects in Gunungkidul. So Alas Nongko Doyong was chosen, which has a flat area, a lot of water sources, fertile land and is in a strategic location.
To carry out the order, Raden Tumenggung Prawirosetiko invited all banners, demang, rangga, and district secretary to hold a deliberation. One of them is Panji Harjodipuro from Semanu. Then Raden Tumenggung Prawirosetiko ordered the banner to carry out this noble task with his trusted subordinates, a Demang from Piyaman named Ki Demang Wonopawiro who was young, brave, brave and still single. The process of clearing the forest was carried out successfully and construction of pendapa, wards and buildings for the civil servants was immediately carried out. After finishing, the Gunungkidul Duchy moved to Alas Nongko Doyong which was later renamed Wonosari by Raden Tumenggung Prawirosetiko.
Behind the implementation of the task, there are stories of love, heroism and mysticism. Once upon a time, Panji Hardjodipuro had a daughter named Roro Sudarmi. As the executive of the government, Panji Harjodipuro called Demang Wonopawiro in Piyaman to appear. Demang Wonopawiro is a descendant of Majapahit who is powerful, obedient, and devoted to superiors. Harjodipuro assigned Demang Wonopawiro to be the project executive to open Alas Nongko Doyong.
Demang Wonopawiro saw Roro Sudarmi and fell in love.
Mbok Nitisari is a shaman, a smart person, who is powerful. Demang Wonopawiro returned to Piyaman to ask Mbok Nitisari for his consideration of the task ordered by Panji Harjodipuro to open the Nongko Doyong Forest which is famous for its haunted stubbornness. Mbok Nitisari agreed and was willing to help with the heavy task. Mbok Nitisari ordered Demang Wonopawiro to make offerings. Demang Wonopawiro and Mbok Nitisari went to Alas Nongko Doyong which is famous for jalma mara jalma die, haunted because it was controlled by Nyi Gadung Mlati, demit Alas ruler Nongko Doyong. Mbok Nitisari asked Nyi Gadung Mlati to open Alas Nongko Doyong. Nyai Gadung Mlati does not allow. There was a battle between Demit Nyi Gadung Mlati and Mbok Nitisari. Nyi Gadung Mlati lost. Nyi Gadung Mlati allows clearing of the forest on condition that they are offered an annual offering and Nyi Gadung Mlati is left to live as a guard.
Forest clearing is done. Demang Wonopawiro mobilized the people of Piyaman to help clear the forest. Nyi Gadung Mlati helps spiritually. Seeing the success of Demang Wonopawiro, Ronggo Puspowilogo, a demang from Seneng, Siraman area, became jealous because he hoped that at first he was given the task by Panji Harjodipuro to clear the forest. The capital city is starting to be built. The market was established in the Seneng area.